Jumat, 11 Mei 2012

MAKALAH TANTANGAN PENDIDIKAN DALAM PEMBANGUNAN DEMOKRASI


TANTANGAN PENDIDIKAN DALAM PEMBANGUNAN DEMOKRASI
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Ideologi Dan Politik Pendidikan
Dosen pengampu :

Disusun Oleh :
Dian Mutiarasari (08470051)


PRODI KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011


BAB. I
PENDAHULUAN
Pendidikan sebagai alat sosialisasi politik adalah kenyataan yang tidak perlu dipungkiri. Karena itu, dalam konteks budidaya demokrasi di kalangan masyarakat, pendidikan dapat diharapkan menjadi instrument mengembangkan kesadaran, serta sikap watak demokratis bagi siswa agar kelak mereka menjadi masyarakat yang baik.
Oleh karena itu, untuk membangun kultur demokrasi di masyarakat maka yang pertama harus dilakukan adalah mengubah orientasi pendidikan yang ditekankan pada kemandirian, kebebasan dan tanggung jawab. Kemandirian diperlukan untuk mengembangkan kepercayaan diri dan sekaligus kesadaran akan keterbatasan kemampuan individu, sehingga bekerjasama dengan warga lain merupakan keharusan dalam kehidupan bermasyarakat. Kebebasan memiliki makna perlu dikembangkannya visi kehidupan yang bertumpu pada kesadaran akan pluralitas masyarakat.


BAB. II
PEMBAHASAN

A.    Hakikat Pendidikan
1.      Dasar dan Pengertian Pendidikan
a.       Dasar Pendidikan
Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[1]
b.      Pengertian Pendidikan
Istilah pendidikanberasal dari bahasa Yunani, Paedogogy, yang mengandung makna seorang anak yang pergi dan pulang sekolah diantar pelayan. Sedangkan pelayan yang mangantar dan menjemput dinamakan paedagogos. Dalam bahasa Romawi, pendidikan diistilahkan dengan educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam. Dalam bahasa Inggris pendidikan diistilahkan to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual (Noeng Muhadjir, 2000: 20-21).
Banyak pendapat yang berlainan mengenai pendidikan. John Dewey (1950: 89-90) mamandang bahwa pendidikan sebagai sebuah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman agar lebih bermakna, sehingga pengalaman tersebut dapat mengarahkan pada pengalaman yang akan didapat berikutnya.[2] Beliau memandang bahwa pendidikan adalah suatu proses pengalaman. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara (1977:20) menyatakan bahwa pendidikan merupakan tuntutan bagi pertumbuhan anak-anak. Artinya pendidikan menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada diri anak-anak, agar mereka sebagai manusia sekaligus sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual), dan tubuh anak untuk memajukan kehidupan anak didik selaras dengan dunianya.[3]
      Di dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tercantum pengertian pendidikan:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara” [4]
2.      Komponen Pendidikan
a.       Tujuan
Tujuan pendidikan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh kegiatan pendidikan. Tujuan pendidikan menurut jenisnya, terbagi dalam beberapa jenis, yaitu tujuan nasional, institusional, kurikuler dan instruksional. Tujuan nasional adalah tujuan pendidikan yang inin dicapai oleh suatu bangsa; Tujuan institusional adalah tujuan pendidikan yang ingin dicapai suatu lembaga pendidikan; tujuan kurikuler adalah tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu mata pelejaran tertentu; dan tujuan Instruksional adalah tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu pokok atau sub-pokok bahasan tertentu.
b.      Peserta didik
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
c.       Pendidik
Pendidik adalah orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi. Dengan kata lain, pendidik adalah orang yang lebih dewasa yang mampu membawa peserta didik kearah kedewasaan.
d.      Alat
Alat pendidikan adalah hal yang tidak saja membuat kondisi-kondisi yang memungkinkan terlaksananya pekerjaan mendidik, tetapi juga mewujudkan diri sebagai perbuatanatau situasi yang membantu pencapaian tujuan pendidikan.
e.       Lingkungan/milieu
Lingkungan pendidikan adalah lingkungan yang melingkupi terjadinya proses pendidikan. Lingkungan pendidikan meliputi lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
3.      Fungsi dan Tujuan Pendidikan
a.       Fungsi
Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
b.      Tujuan
Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Tujuan pendidikan disini bersifat normative, yaitu mengandung unsure norma yang bersifat memaksa, tetapi tidak bertentangan dengan hakikat perkembangan peserta didik serta dapat diterima oleh masyarakat sebagai nilai hidup yang baik.[5]
Menurut John Locke (1632), tujuan akhir pendidikan ialah kebahagiaan dan kesejahteraan bangsa. Sedangkan pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

B.     Hakikat Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, “Demos” berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “Cratos” yang berarti pemerintahan. Jadi, demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dengan kekuasaan ditangan rayat.[6]
Pemerintahan ditangan rakyat mengandung pengertian tiga hal:
1.      Pemerintah dari rakyat (government of the people), mengandung pengertian bahwa suatu pemerintahan yang sah adalah suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan mayoritas rakyat melalui mekanisme demokrasi, pemilihan umum. Pengakuan dan dukungan rakyat bagi suatu pemerintahan sangatlah penting, karena dengan legitimasi politik tersebut pemerintah dapat menjalankan roda birokrasi dan program-programnya sebagai wujud dari amanat yang diberikan oleh rakyat kepadanya.
2.      Pemerintahan oleh rakyat (government by the people), memiliki pengertian bahwa suatu pemerintahan menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat, bukan atas dorongan pribadi, elit, Negara ataupun elit birokrasi. Selain itu mengandung pengertian bahwa dalam menjalankan kekuasaannya, pemerintah berada dalam pengawasan rakyat (social control). Pengawasan dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh rakyat melalui wakilnya di parlemen. Dengan adanya pengawasan para wakil di parlemen, ambisi otoritarianisme dari para penyelenggara Negara dapat dihindari.
3.      Pemerintahan untuk rakyat (government for the people), mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah harus dijalankan untuk kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat umum harus dijadikan landasan utama kebijakan sebuah pemerintahan yang demokratis.
Demokrasi adalah proses yang masyarakat dan Negara berperan di dalamnya untuk membangun kultur dan sistem kehidupan guna menciptakan kesejahteraan, menegakkan keadilan, baik secara social, ekonomi, maupun politik. Dengan kata lain, bicara demokrasia adalah juga bicara tentang mentalitas bangsa.
Aktualisasi demokrasi harus dilakukan melalui upaya-upaya bersama yang berorientasi pada perwujudan masyarakat Indonesia yang demokratis, toleran, dan konpetitif. Tuntutan gelombang demokrasi menuju masyarakat yang terbuka dan toleran merupakan peluang bagi bangsa Indonesia untuk ambil bagian dalam pembangunan peradaban dunia yang lebih terbuka dan manusiawi. Keterlibatan ini dapat dilakukan melalui cara-cara pengembangan budaya demokrasi dalam kehidupan sehari-hari melalui pendidikan.[7]

C.    Kontribusi Pendidikan dalam Pembangunan Demokrasi
Untuk membangun demokrasi dalam struktur masyarakat diperlukan adanya pendidikan demokrasi yang akan memberikan kontribusinya bagi pengembangan demokrasi di Indonesia. Menurut Kartini Kartono, demokrasi pendidikan adalah semua pihak yang berkepentingan dengan pendidikan yang diharapakan dapat berpartisipasi dalam penentuan kebijakan pendidikan. Jadi, demokrasi pendidikan lebih bersifat politis karena menyangkut kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan ditingkat nasional.
Pendidikan yang demokratis tidak saja terbatas pada system yang berjalan dalam institusi-institusi pendidikan itu sendiri. Proses pemerataan pendidikan pun sebagai bagian dari komitmen demokrasi.
Pendidikan dapat menjadi salah satu upaya strategis pendemokrasian bangsa Indonesia, khususnya di kalangan generasi muda. Pendidikan yang dimaksud adalah model pendidikan yang berorientasi pembangunan karakter bangsa melalui pembelajaran yang menjadikan peserta didik sebagai subjek pembelajaran melalui cara-cara pembelajaran yang demokratis, partisipatif, kritis, kreatif dan menantang aktualisasi diri mereka. Proses belajar tidak lagi menjadi monopoli dosen maupun guru, tetapi menjadi milik bersama dan menjadikan proses belajar sebagai wadah untuk dialog dan belajar bersama.[8]
Pendidikan yang bersifat demokratis, harus memiliki tujuan menghasilkan lulusan yang mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan mampu mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan public. Dengan kata lain, pendidikan harus mampu menanamkan kesadaran dan membekali pengetahuan akan peran warga dalam masyarakat yang demokratis. Selain itu pendidikan demokratis juga bertujuan mempersiapkan warga masyarakat berfikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktifitas menanamkan pada generasi baru pengetahuan dan kesadaran akan tiga hal. Pertama, Demokrasi adalah bentuk kehidupan bermasyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat itu sendiri. Kedua, demokrasi adalah suatu learning proces yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Ketiga, Kelangsungan demokrasi tergantung pada keberhasilan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi: kebebasan, persamaan dan keadilan serta loyal kepada system politik yang bersifat demokratis. Dengan demikian, pembangunan demokrasi akan dapat terwujud.[9]

D.    Tantangan Pendidikan Dalam Pembangunan Demokrasi
Demokrasi dapat tercipta bila masyarakat membangun kesadaran sendiri tentang pentingnya demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Sebaliknya, Negara sebagai instrument politik dan ekonomi suatu bangsa juga harus memiliki political will untuk mendukung terwujudnya demokrasi. Hal ini dapat dilakukan dalam bentuk perbaikan kebijakan dalam berbagai aspek.
Proses demokrasi yang kita alami sekarang ini mengalami carut-marut ketika sebagian komponen bangsa memahami demokrasi melalui perilaku anarkis yang dipertontonkan secara nyata akhir-akhir ini. Perilaku tokoh-tokoh politik yang seharusnya memberikan tauladan berdemokrasi justru melakukan acrobat politik yang kadangkala membuat kita miris. Kenyataan demikian menyebabkan situasi demokrasi ini semakin meluncur dan terpuruk dalam situasi yang tidak karuan bahkan Negara ini seperti tidak bertuan dibuatnya. Barangkali demokrasi yang baru seumur jagung ini belum dipahami dan dipraktekan secara nyata, baru sebatas utopia semu. Demokrasi selamanya memerlukan kompi-kompi democrat dalam teori dan praktek.
Satu hal yang perlu disayangkan pula, pendidikan acap kali ditempatkan sebagai sesuatu yang hanya bertali-temali dengan transfer of knowledge dan area induktrinasi, padahal sesungguhnya pendidikan lebih dari itu. Disamping sebagai aktifitas transfer of knowledge, pendidikan juga merupakan media dan aktifitas membangun kesadaran, kedewasaan, dan kemandirian peserta didiknya. Kesadaran, kedewasaan dan kemandirian itulah yang menjadi tujuan pendidikan. Disisi lain, melelui pendidikan pula proses penciptaan mentalitas dan kultur demokrasi suatu masyarakat dapat dilakukan. Sistem pendidikan yang dianut suatu bangsa akan mencerminkan mentalitas dan perilaku para pengambil kebijakannya.[10]Realitas sejarah di Indonesia telah menunjukkan betapa institusi pendidikan dijadikan “alat melanggengkan kekuasaan”. Implikasi semua itu adalah hilangnya profesionalisme dan independensi institusi pendidikan dari konteksnya dari institusi yang mencerdaskan dan membebaskan.
Selain itu pendidikan saat ini telah disubordinasikan untuk kepentingan pasar. Dampaknya orientasi pendidikan hanya sekedar menjadi pawang atau mentor. Pendidikan hanya berusaha bagaimana membekali siwa dengan rumusan-rumusan teoritis belaka. Siswa bukan hanya diajak berproses menjadi manusiawi tetapi menjadi objek an sich.[11]
Pendidikan, baik lembaga penyelenggara maupun pandangan sebagian kecil orang berada, lantas menjadi mekanistis karena hanya semata-mata mengejar kepentingan “uang” belaka. Uang menjadi segala-galanya. Dan demi itu semua anak didik digagalkan memperoleh pendidikan yang luhur yakni membentuk manusia yang memiliki kecerdasan dan berbudi luhur. Jika pendidikan lantas terjerumus kedalam jurang bisnis, maka akan berlaku siapa yang memiliki uang dia bisa membeli pendidikan. Akibatnya anak yang miskin tak pernah dipertimbangkan untuk memperoleh sekolah yang bermutu. Sepertinya anak miskin juga di stimagsikan sebagai orang yang dibuang dari struktur masyarakat.
Sistem pendidikan modern sudah berhasil menindas kaum miskin agar mereka tak mampu hidup lebih madiri. Sistem pendidikan di negri ini lebih berpola pada” pendidikan model anjing”. Model pendidikan tersebut bakalan kepatuhan, sistem komando, sistem subordinasi dan sistem militeristik. Siswa bukan dijadikan subjek yang mandiri melainkan sebagai objek kepatuhan sang guru. Siswa yang patuh akan memperoleh hadiah sedangkan siswa yang  kritis yang mempertanyakan ketidakwajaran harus dibungkam dan dihukum. Seharusnya pendidikan mampu memerdekakan seseorang dari ketergantungan kuasa modal dan subordinasi kekuasaan. [12]
Pendidikan yang memerdekakan berpola layaknya “ayam yang mengajari ayam mengenal realitas kehidupan”. Induk ayam mendidik anak-anaknya dari dan untuk kehidupan itu sendiri, anak ayam dibiarkan mencari makan secara mandiri sedangkan induknya mengawasi. Pola ini menuntut guru menjadi teman atau rekan bermain anak didiknya bukan sebagai komandan yang setiap perintahnya harus dituruti. Guru bukan lagi figure yang harus ditakuti tetapi hendaknya menjadi mitra siswa yang dicintai. Dengan demikian paradigma pendidikan hendaknya berubah. Guru bukan menjadi satunya pusat satu kebenaran tetapi kebenaran harus dicari bersama-sama. Pendidikan seperti ini dalam bahasa Faire adalah pendidikan yang terkait dengan realitas pendidikan. Kenyataannya, di negri ini pendidikan lepas dari realitas pendidikan, ini membuat lulusan sekolah kita tak mampu berinovasi dan berkreasi karna pendidikan hanya memperoleh ijasah dan gelar bukan proses yang membawa pada kemerdekaan dan pencerahan.
Oleh karena itu perwujudan sistem pendidikan yang demokratis sudah menjadi keniscayaan yang harus disikapi secara positif oleh seluruh komponen yang terlibat didalamnya. Apakah itu kebijakan pemerintah, institusi pendidikan maupun oleh orang yang terlibat didalamnya. Karena bagaimanapun sebagai sebuah sistem, sekolah memperlibatkan banyak pihak. Baik yang berkaitan dengan persoalan manajemen  dari unsure maupun profesionalitasnya. Diharapkan pendidikan bebas dari unsur kepentingan. Sebaiknya yang perlu ditekankan disini yaitu peningkatan sistem pendidikan di Indonesia agar dapat menempatkan dirinya secara independen atau paling sedikitnya tidak banyak dicampurtangani oleh penguasa untuk melanggenkan kekuasaannya. Yang penting disini adalah proses membangun pendidikan untuk demokrasi, bagaimanapun, batasan intelek pendidikan, kesadaran politik dan mentalitas serta kultur demokrasi adalah setipis kulit bawang.
Pendidikan yang demokratis tidak terpaku oleh pola tertentu, dalam pengertian bahwa prinsip-prinsip demokrasi dapat ditanamkan sedini mungkin dalam sistem pendidikan kita seperti kebebasan berpendapat membangun tradisi ilmiah yang progresif dan objektif, kultur dialog dsb. Tanpa itu jangan kita berharap bahwa institusi- institusi pendidikan kita akan menghasilkan generasi yang cerdas, mandiri dan demokratis sebaliknya yang muncul adalah generasi yang selalu gamang dengan keadaan, tidak siap menyongsong masa depan di era yang sangat kompetitif, mandul dalam berkarya, dan parahnya generasi yang tidak merdeka dengan generasinya sendiri. [13]
Pendidikan yang demokratis tidak hanya terbatas pada sistem yang berjalan dalam institusi- institusi pendidikan itu sendiri. Dalam konteks ini proses pemerataan pendidikan sebagai bagian dari komitmen demokrasi itu sendiri harus diselesaikan di tingkat kebijakan sejak awal mula.
Di Indonesia demokrasi belum  sepenuhya menjadi  kesadaran dan mentalitas. Perilaku politik sebagian kader partai sesekali nampak perilaku tak berpendidikan. Juga sikap masyarakat tentang kebebasan dan toleransi antara umat beragama yang ternyata masih jauh dari api demokratis. Bagitu pula timbulnya kekerasan politik yang terjadi di masyarakat untuk menyelasaikan masalah, seperti menganggap perbedaan sebagai konflik, berperilaku anarkis sebagai sebuah gambaran demokrasi di Negara kita.[14] Kenyataan ini sesungguhnya bisa dimaklumi karena warisan masa lampau baik orde lama maupun orde baru yang tidak mendukung adanya proses demokrasi, dan juga kurangnya andil pendidikan dalam menyemaikan kultur demokrasi, bahkan pendidikan yang diharapkan memberikan kontribusi bagi tumbuhnya kultur demokrasi dijadikan alat memberantas demokrasi.
Peranan pendidikan yang sesungguhnya diharapkan dapat menciptakan kultur demokrasi di masyarakat dengan melalui internalisasi nilai- nilai demokrasi di sekolah. Pendidikan diharapkan menjadi obat penyembuhan dari penyakit-penyakit yang diderita masyarakat seperti yang telah dipaparkan diatas.
Guna membangun masyarakat yang demokratis diprlukan pendidikan agar warganya tidak sekedar mampu membaca dan berhitung. Warga masyarakat perlu memahami fungsi pemerintahan yang demokratis sesuai dengan konstitusi dan memahami konsep operasional pasar bebas. Sebab kekuatan suatu bangsa terletak pada kemampuan warganya untuk mengambil keputusan secara rasional. Kadar pemahaman warga atas fungsi pemerintahan dan konsep pasar bebas akan menentukan derajat rasionalitas keputusan yang diambil.
Dalam kaitan dengan pendidikan, diharapkan pendidikan ekonomi ditekankan pada upaya memfasilitasi peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan untuk mengambil keputusan individual dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan bersama.
Sekolah memiliki tanggung jawab melengkapi peserta didik dengan kemampuan memerankan fungsinya sebagai anak bangsa di lingkungan masyarakat yang demokratis. Lebih luas dan mendasar dari itu semua, sekolah memiliki tanggung jawab utama untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan peserta didik guna berpartisipasi dalam membangun masyarakat yang lebih baik.
Keberlangsungan dan keberhasilan pendidikan demokrasi memerlukan reformasi di bidang pendidikan. Reformasi yang diperlukan adalah berkaitan dengan kebebasan akademik, kebhinekaan pendidikan, dan perombakan materi civic/kewarganegaraan.[15]
Jhon Dewey menyatakan bahwa kebebasan akdemik diperlukan guna mengembangkan prinsip demokrasi di sekolah yang bertumpu pada interaki dan kerjasama, berdasarkan pada sikap saling menghormati dan memperhatikan satu sama lain, berpikir kreatif, menemukan solusi atas problem yang dihadapi bersama, dan bekerja sama untuk merencanakan dan melaksanakan solusi. Hal ini berarti sekolah yang demokratis harus mendorong dan memberikan kesempatan semua siswa untuk aktif berpartisipasi dalam pengambilan keputusan merencanakan kegiatan dan melaksanakan rencana tersebut.
Bhineka tunggal ika merupakan manifestasi kebinekaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk didalamnya adalah kehidupan pendidikan. Pendidikan kebhinekaan menghargai dan mengakomodasi perbedaan latar belakang seseorang yang menyangkut nilai, budaya, social, ekonomi bahkan perbedaan dalam kemampuan.
Sekolah pada zaman orde baru berupaya menciptakan bentuk perilaku politik tertentu, dengan mengimplementasikan kurikulum kewarganegaraan yang mendasarkan pada disiplin yang kaku dan bersifat induktrinatif oleh karena itu reformasi pendidikan kewarganegaraan mutlak diperlukan, materi kewarganegaraan ditekankan pada empat aspek yang meliputi: aspek sejarah asal mula demokrasi dan perkembangannya, perkembangan demokrasi di Indonesia, jiwa demokrasi dalam pancasila dan UUD 1945 dan tantangan demokrasi dalam era modern.[16]
Dengan demikian dapat terlihat betapa pentingnya peran pendidikan di sekolah untuk menumbuhkan dan membangun nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain reformasi ketiga hal tersebut diatas, untuk menumbuhkan nilai-nilai demokrasi yang sekian lama terbelenggu oleh berbagai macam problematika yang ada, juga diperlukan hal-hal sebagai berikut:
1.      Sosialisasi nilai-nilai demokrasi
Sosialisasi tersebut dilakukan baik dalam pendidikan formal ataupun non formal untuk seluruh kalangan masyarakat. Sosialisasi nilai-nilai demokrasi tersebut dapat terjadi dalam lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat melalui peran dari pihak-pihak terkait seperti; guru, orang tua, teman/rekan dan juga media masa. Dengan demikian, nilai-nilai demokrasi akan tertanam dalam benak anak bangsa.
2.      Peningkatan kualitas guru
Guru memiliki peranan penting dalam proses sosialisasi nilai-nilai demokrasi, terutama pada jenjang pendidikan sekolah dasar. Siswa senantiasa menunjukkan bahwa nilai-nilai yang ia yakini dan bahkan perilakunya adalah sesuai dengan apa yang dikatakan gurunya. Guru menjadi sumber bagi nilai-nilai dan perilaku yang demokratis. Sedangkan pengaruh guru dalam sosialisasi nilai-nilai demokrasi dalam tingkat sekolah menengah sangat ditentukan oleh kredibilitas guru itu sendiri. Kalau dimata murid merupakan sosok yang dapat dipercaya, mampu dan dapat dijadikan sebagai model bagi para siswa maka pengaruh guru sangat besar.
3.      Perbaikan kurikulum
Pengaruh kurikulum cukup besar dalam menanamkan pengetahuan tentang demokrasi. Kurikulum harus bersifat fleksibel dan elastic, sehingga terbuka kesempatan untuk memberikan bahan pelajaran yang penting dan perlu bagi anak didik. Kurikulum harus memuat nilai-nilai demokrasi didalam materinya. Elastisitas kurikulum disesuaikan dengan perubahan social yang terjadi. Sedangkan tujuan spesifik dari kurikulum adalah menumbuhkan rasa toleransi, kesanggupan untuk berfikir sederhana dan mengikis prasangka dalam memberikan pertimbangan nilai. Kurikulum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan teori pendidikan. Suatu kurikulum disusun dengan mengacu pada satu atau beberapa teori kurikulum, dan suatu teori kurikulum diturunkan atau dijabarkan dari teori pendidikan tertentu.[17]
4.      Penciptaan iklim kelas
Dalam proses sekolah yang penting bukan apa materi yang diajarkan ataupun siapa yang mengajarkan, melainkan bagaimana materi tersebut diajarkan. Bagaimana guru mengajarkan materi tersebut menimbulkan apa yang disebut iklim kelas. Iklim kelas yang terbuka dan longgar sangat kondusif untuk mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi, sebab dengan iklim semacam itu suasana kelas akan bersifat demokratis sehingga proses belajar akan dinamis.
  
           
BAB. III
KESIMPULAN
Dasar Pendidikan dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional adalah berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengertian pendidikan dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”.
Komponen pendidikan terdiri dari tujuan, peserta didik, pendidik, alat dan lingkungan/mileu.
Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dengan kekuasaan ditangan rayat.
Pendidikan dapat menjadi salah satu upaya strategis pendemokrasian bangsa Indonesia, khususnya di kalangan generasi muda. Pendidikan yang dimaksud adalah model pendidikan yang berorientasi pembangunan karakter bangsa melalui pembelajaran yang menjadikan peserta didik sebagai subjek pembelajaran melalui cara-cara pembelajaran yang demokratis, partisipatif, kritis, kreatif dan menantang aktualisasi diri mereka.
Proses demokrasi yang kita alami sekarang ini mengalami carut-marut ketika sebagian komponen bangsa memahami demokrasi melalui perilaku anarkis yang dipertontonkan secara nyata akhir-akhir ini. Perilaku tokoh-tokoh politik yang seharusnya memberikan tauladan berdemokrasi justru melakukan acrobat politik yang kadangkala membuat kita miris. Kenyataan demikian menyebabkan situasi demokrasi ini semakin meluncur dan terpuruk dalam situasi yang tidak karuan bahkan Negara ini seperti tidak bertuan dibuatnya. Di Indonesia demokrasi belum  sepenuhya menjadi  kesadaran dan mentalitas. Perilaku politik sebagian kader partai sesekali nampak perilaku tak berpendidikan. Juga sikap masyarakat tentang kebebasan dan toleransi antara umat beragama yang ternyata masih jauh dari api demokratis. Bagitu pula timbulnya kekerasan politik yang terjadi di masyarakat untuk menyelasaikan masalah, seperti menganggap perbedaan sebagai konflik, berperilaku anarkis sebagai sebuah gambaran demokrasi di Negara kita.
Peranan pendidikan yang sesungguhnya diharapkan dapat menciptakan kultur demokrasi di masyarakat dengan melalui internalisasi nilai- nilai demokrasi di sekolah. Pendidikan diharapkan menjadi obat penyembuhan dari penyakit-penyakit yang diderita masyarakat seperti yang telah dipaparkan diatas.
Untuk menumbuhkan nilai-nilai demokrasi yang sekian lama terbelenggu oleh berbagai macam problematika yang ada, juga diperlukan hal-hal seperti; sosialisasi nilai-nilai demokrasi, peningkatan kualitas guru, perbaikan kurikulum, dan penciptaan iklim kelas.

DAFTAR PUSTAKA

Wiji Suwarno, 2006, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta
H. Zainal Aqib, 2002, Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran, Insan Cendekia, Surabaya
UU Sisdiknas, 2009, Citra Umbara, Bandung
Umar Tirtarahardja, S. L. La Sulo, 2005, Pengantar Pendidikan, Asdi Mahasatya, Jakarta
Abdullah IDI, Toto Suharto, 2006, Revitalisasi Pendidikan Islam, Tiara Wacana, Yogyakarta
A. Ubaedillah, dkk, 2006, Demokrasi Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Zamroni, 2001, Pendidikan Untuk Demokrasi, Bigraf  Publishing, Yogyakarta
Benny Susetyo, 2005, Politik Pendidikan Penguasa, LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta, Yogyakarta
Nana Syaodih Sukmadinata, 2008, Pengambangan Kurikulum Teori Dan Praktek, Remaja Rosdakarya Offset, Bandung



[1] Wiji Suwarno, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006), hal. 31
[2] Ibid, hal. 20
[3] H. Zainal Aqib, Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran, (Surabaya: Insan Cendekia, 2002), hal. 11
[4] UU Sisdiknas, (Bandung: Citra Umbara, 2009), hal. 60
[5] Umar Tirtarahardja, S. L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2005), hal. 37
[6] Abdullah IDI & Toto Suharto,  Revitalisasi Pendidikan Islam ( Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006),  Hal. 37

[7] A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006), Hal. vii
[8] Ibid, hal. viii
[9] Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi, (Yogyakarta: Bigraf  Publishing, 2001), hal. 17
[10] Ibid, hal. viii
[11] Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, (Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2005), hal. 117
[12] Ibid, hal. 120
[13] Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi, (Yogyakarta: Bigraf  Publishing, 2001), hal. x
[14] Ibid, hal. xiii
[15] Ibid, hal. 18
[16] Ibid, hal. 23
[17] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengambangan Kurikulum Teori Dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2008), hal. 7